Sabtu, 26 Februari 2011

pak ogah


polisi-cepek ditengah persimpangan
polisi-cepek ditengah persimpanganYa, menyebalkan. Memang para pak ogah itu menyebalkan. Bayangkan, mereka ada di setiap persimpangan yang saya lalui. Gak peduli mereka diperlukan atau tidak. Sekali ngasih, paling gak 200 rupiah. Kalo cepe (Rp 100), mereka pasti ngedumel. Mending kalau mereka mengatur dengan benar, ini malah mereka bikin macet. Menyebalkan. Akibatnya saya jadi malas sekali memberi pada mereka, praktis sebenarnya saya hampir tidak pernah memberi pada para pak ogah. Biar mereka malas jadi pak ogah sehingga berkurang jumlahnya, pikir saya.
Hari libur itu, kebetulan saya sedang ingin bertualang sedikit, jadi saya iseng naik angkot yang berliku melalui jalan-jalan kecil. Melihat-lihat kehidupan dan suasana sepanjang jalan yang jarang atau tidak pernah saya lalui memang memberi perasaan senang tersendiri. Seperti biasa, di hampir tiap persimpangan ada saja pak ogah yang menyebalkan itu berjaga. Setiap kali, si supir angkot yang saya naiki itu, selalu memberi pada mereka. Entah 100 atau 200 rupiah. Setiap kali memberi, si sopir angkot terlihat melakukannya dengan senang hati dan tanpa ada rasa sebal sama sekali, malah cenderung seperti memang ingin memberi saja. Ingin berbagi.
Hitung punya hitung, dalam satu rit itu, si supir angkot mungkin harus mengeluarkan uang lebih dari seribu rupiah. Sementara penghasilannya dari penumpang yang kurang begitu ramai, mungkin sekitar lima belas ribu rupiah dalam satu rit. Jadi sekitar 7% penghasilan kotornya diberikan kepada para pak ogah. Besar itu! Kan si sopir angkot masih harus membayar pajak preman di terminal, tamer penumpang di tempat-tempat tertentu, dan tentunya setoran kepada pemilik angkotnya. Bisa jadi uang yang diberikan ke para pak ogah adalah bagian yang cukup besar dari uang yang dia bawa pulang ke rumah! Apa dia gak merasa rugi?
Karena penasaran, begitu si supir angkot memberi pada pak ogah berikutnya, saya langsung nyeletuk bertanya: Pak, kok ngasih mulu? Apa gak rugi keluar banyak terus buat mereka? Si sopir angkot hanya menjawab dengan dengusan setengah tersenyum. Ada banyak kata membayang dimatanya namun tidak diucapkannya. Lalu diam dan melanjutkan keasyikannya menyetir, tidak peduli lagi.
Tanpa kata, namun keseluruhan bahasa tubuh dan sinar matanya dalam menjawab itu menyampaikan banyak hal. Membuat saya langsung tertegun dan berpikir. Seolah dia berkata, mereka itu orang yang butuh dan gak punya kesempatan meraih pekerjaan yang baik karena masalah ekonomi, kalau kita pelit bagaimana mereka bisa hidup. Kita toh gak akan jatuh miskin dengan ngasih mereka. Apa salahnya sih bagi-bagi rezeki. Kenapa merasa rugi. Seolah dia menuduh saya, mana bisa ngerti orang susah kalo gak pernah hidup susah.
Saya lalu berpikir. Selama ini, saya memang memandang pak ogah dengan banyak prasangka di belakang kepala. Saya juga memandang mereka semata-mata dari kacamata diri, dari keadaan dan kondisi saya, samasekali tidak mencoba memahami mereka dari sudut pandang mereka. Memang mudah untuk menghakimi mereka dari sudut pandang orang yang menaiki mobil yang nyaman, tinggal di rumah yang nyaman dengan harta yang dimiliki, dan pekerjaan baik yang dimiliki. Mudah sekali.
Dapatkah kita memandang mereka dari keadaan mereka? Dapatkah kita membayangkan posisi dan keadaan mereka? Mereka mungkin memandang hidup ini tanpa dapat melihat adanya harapan untuk hidup layak seperti kita. Mereka mungkin saat ini harus tinggal di rumah kecil orang tuanya bersama dengan sekian banyak saudara, pendapatan rumah tangga pas-pasan, tidak punya pendidikan, tidak punya pekerjaan. Dimarahi orang di sana-sini. Dihina orang di sana-sini. Dipandang rendah di sana-sini.
Saya jadi berdialog dalam hati dengan diri sendiri.
Coba kamu bayangkan, mereka mungkin tidak dapat sekolah cukup tinggi karena masalah biaya. Sementara itu, kesempatan kerja untuk orang seperti mereka tentunya sangat sedikit dibandingkan jumlah mereka yang mencari. Ah, tapi kalau mereka mau usaha dengan benar kan pasti ada saja kesempatan, bantahku. Benar, sahut hatiku, tapi coba kamu pikir, untuk dapat bersikap seperti itu kan dibutuhkan karakter dan kekuatan diri yang besar. Jujur saja, kamu sendiri gimana, tanya hatiku. Apa kamu sanggup bersikap begitu kalau kamu jadi mereka. Coba, kamu ingin punya usaha sendiri kan, nah sudah sejauh mana kamu menggerakkan dirimu, cecar hatiku. Kurang lebih, itukan butuh kekuatan karakter yang sama dengan apa yang harus mereka kerahkan. Hanya konteksnya saja yang beda. Kamu bisa gak. Hati saya terus mengejar. Dan saya gelagapan tidak sanggup menjawab.Tapi kan mereka nyusahin banyak orang, bela saya lirih. Oya?! Mungkin benar, tapi sebenarnya kamu gak ngasih karena mereka nyusahin apa karena kamunya pelit? Deg! Saya terkaget-kaget. Iya ya, jangan-jangan …
Langsung saya mengorek diri. Banyak alasan saya tidak memberi pak ogah, dan alasan-alasan itu sangat bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Amat sangat dapat dibenarkan dengan logika. Namun disinilah nafsu bermain dan menyelipkan sifat pelit ke dalam diri. Ternyata tanpa disadari, saya sudah meracuni diri dengan sifat pelit dan ditambah lagi dengan kekurangpedulian pada nasib orang lain. Tanpa disadari, perlahan-lahan rasa kikir mengambil porsi yang semakin besar dalam motivasi saya untuk tidak memberi. Penyakit kikir pelit mulai masuk. Aduh.
Memang dalam memberi kita harus menimbang keadaan dan manusianya. Namun, harus lebih hati-hati lagi dari itu, adalah kita harus menimbang dasar motivasi kita sesungguhnya, dalam memberi atau tidak memberi. Hati kita memang tempat yang sangat luas, di sana penyakit hati dapat bersembunyi dengan mudah dan menguasai hati kita kalau kita tidak waspada.
Ah, terimakasih pak sopir atas pelajaran yang anda berikan.
Sejak saat itu, saya berusaha memahami pak ogah (juga preman, pengamen, pengemis, dan lain-lain) dari sudut pandang kondisi mereka, setidaknya sejauh yang dapat saya bayangkan. Saya hampir selalu memberi pada para pak ogah dengan pemahaman bahwa mereka adalah orang yang butuh dan juga karena ingin mencegah penyakit kikir menguasai hati saya.
Hampir selalu memberi, karena ada beberapa tempat yang memang pak ogahnya tidak benar. Namun, jika tidak memberi, saya mewaspadai motivasi saya. Kalau curiga ada rasa pelit di hati, buru-buru saya tambahkan uang itu kepada pak ogah atau pengemis berikutnya.
Semoga nantinya saya bisa seperti si sopir angkot dalam memberi, memberi hanya karena ingin berbagi pada sesama. Amin, ya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar